Rabu, September 10, 2008

Omprengan Jalur Cibubur - Jakarta


Tempat Kumpul dari Cibubur
  1. Cibubur Junction
  2. Taman Bunga Wiladatika

Tujuan

  1. Kuningan
  2. Blok M
  3. Sudirman
  4. Thamrin
  5. Grogol
  6. Slipi

Senin, September 08, 2008

JALUR KUNINGAN - BEKASI (BARAT & TIMUR)

Tempat tunggu:
  1. Sepanjang jalan Kuningan
  2. Samping Gedung Bulog / Hotel Gran Mulia (tanya aja pool omprengan)
  3. Sepanjang jalan Gatot Subroto dari Bulog sampai Wisma Baja
  4. Gedung Izzi Pizza (Pancoran)

Tujuan:
  1. Bekasi Barat (bisa turun di Jatiwaringin, Jatibening, atau Galaksi...tapi tanya dulu ke sopirnya, karena sebagian sopir nggak mau berhenti di Jatiwaringin dan Galaksi)
  2. Bekasi Timur (bisa turun juga di Jatiwaringin, Jatibening, atau Galaksi...tapi tanya sopir dulunya juga, ya kalu mau berhenti di jatiwaringin atau Galaksi)

Pemilik Burger Edam Mantan Supir Omprengan Juga

Made Ngurah Bagiana

Di rumah mungil di kawasan Perumnas Klender, Jakarta Timur, belasan pegawai berkaus merah kuning terlihat sibuk. Roti, daging, sosis, hingga botol-botol saus kemasan bertuliskan Edam Burger disusun rapi dalam wadah-wadah plastik siap edar. Pembawaannya sederhana, tak ubahnya seperti pegawai lain. Sambil tersenyum hangat, ia pun memperkenalkan diri. "Aduh maaf, ya, saya tidak terbiasa rapi, hanya pakai oblong dan celana pendek," tutur Made Ngurah Bagiana, sang pemilik Edam Burger. Beberapa saat kemudian, Made bercerita.

Terus terang, saya suka malu dibilang pengusaha sukses yang punya banyak pabrik dan outlet. Bukan tidak mensyukuri, tapi saya hanya tak mau dicap sombong. Saya mengawali semua usaha ini dengan niat sederhana: bertahan hidup. Makanya, sampai sekarang saya ingin tetap menjadi orang yang sederhana. Sesederhana masa kecil saya di Singaraja, Bali.

Orang tua memberi saya nama Made Ngurah Bagiana. Saya lahir pada 12 April 1956 sebagai anak keenam dari 12 bersaudara. Sejak kecil, saya terbiasa ditempa bekerja keras. Malah kalau dipikir-pikir, sejak kecil pula saya sudah jadi pengusaha. Bayangkan, tiap pergi ke sekolah, tak pernah saya diberi uang jajan. Kalau mau punya uang, ya saya harus ke kebun dulu mencari daun pisang, saya potong-potong, lalu dijual ke pasar.

Menjelang hari raya, saya pun tak pernah mendapat jatah baju baru. Biasanya, beberapa bulan sebelumnya saya memelihara anak ayam. Kalau sudah cukup besar, saya jual. Uangnya untuk beli baju baru. Lalu, sekitar usia 10 tahun, saya harus bisa memasak sendiri. Jadi, kalau mau makan, Ibu cukup memberi segenggam beras dan lauk mentah untuk saya olah sendiri.

PENSIUN JADI PREMAN

Begitulah, hidup saya bergulir hingga menamatkan STM bangunan tahun 1975. Bosan di Bali, saya pun merantau ke Jakarta tanpa tujuan. Saya menumpang di kontrakan kakak saya di Utan Kayu. Untuk mengisi perut, saya sempat menjadi tukang cuci pakaian, kuli bangunan, dan kondektur bis PPD.Kerasnya kehidupan Jakarta, tak urung menjebloskan saya pada kehidupan preman. Bermodal rambut gondrong dan tampang sangar, ada-ada saja ulah yang saya perbuat. Paling sering kalau naik bis kota tidak bayar, tapi minta uang kembalian. (Sambil berkisah, Made terbahak tiap mengingat pengalaman masa lalunya. Berulang kali ia menggeleng, lalu membenarkan letak kacamatanya).

Toh, akhirnya saya pensiun jadi preman. Gantinya, saya berjualan telur. Saya beli satu peti telur di pasar, lalu diecer ke pedagang-pedagang bubur. Ternyata, usaha saya mandeg. Saya pun beralih menjadi sopir omprengan. Bentuknya bukan seperti angkot ataupun mikrolet zaman sekarang, masih berupa pick-up yang belakangnya dikasih terpal. Saya menjalani rute Kampung Melayu - Pulogadung - Cililitan.Tahun 1985, saya pulang ke kampung halaman.

Pada 25 Desember tahun itu, saya menikah dengan perempuan sedaerah, Made Arsani Dewi. Oleh karena cinta kami bertaut di Jakarta, kami memutuskan kembali ke Ibu Kota untuk mengadu nasib. Kami membeli rumah mungil di daerah Pondok Kelapa. Waktu itu saya bisnis mobil omprengan. Awalnya berjalan lancar, tapi karena deflasi melanda tahun 1986-an, saya pun jatuh bangkrut. Kerugian makin membengkak. Saya harus menjual rumah dan mobil. Lalu, saya hidup mengontrak.

NYARIS TERSAMBAR PETIR

Titik cerah muncul di tahun 1990. Saya pindah ke Perumnas Klender. Tanpa sengaja, saya melihat orang berjualan burger. Saya pikir, tak ada salahnya mencoba. Saya nekad meminjam uang ke bank, tapi tak juga diluluskan. Akhirnya saya kesal dan malah meminjam Rp 1,5 juta ke teman untuk membeli dua buah gerobak dan kompor.Bahan-bahan pembuatan burger, seperti roti, sayur, daging, saus, dan mentega, saya ecer di berbagai tempat. Dibantu seorang teman, saya menjual burger dengan cara berkeliling mengayuh gerobak. Burger dagangannya saya labeli Lovina, sesuai nama pantai di Bali yang sangat indah.

Banyak suka dan duka yang saya alami. Susahnya kalau hujan turun, saya tak bisa jalan. Roti tak laku, Akhirnya, ya, dimakan sendiri. Masih untung karena istri saya bekerja, setidaknya dapur kami masih bisa ngebul. Pernah juga gara-gara hujan, saya nyaris disambar petir. Ketika itu saya tengah memetik selada segar di kebun di Pulogadung. Tiba-tiba hujan turun diiringi petir besar. Saya jatuh telungkup hingga baju belepotan tanah. Rasanya miris sekali.

Di awal-awal saya jualan, tak jarang tak ada satu pun pembeli yang menghampiri, padahal seharian saya mengayuh gerobak. Mereka mungkin berpikir, burger itu pasti mahal. Padahal, sebenarnya tidak. Saya hanya mematok harga Rp 1.700 per buah. Baru setelah tahu murah, pembeli mulai ketagihan. Dalam sehari bisa laku lebih dari 20 buah.Untuk mengembangkan usaha, saya mengajak ibu-ibu rumah tangga berjualan burger di depan rumah atau sekolah. Mereka ambil bahan dari saya dengan harga lebih murah. Sungguh luar biasa, upaya saya berhasil.

Dalam dua tahun, gerobak burger saya beranak menjadi lebih dari 40 buah. Saya pun pensiun menjajakan burger berkeliling dan menyerahkan semua pada anak buah.Tak berhenti sampai di situ, tahun 1996 saya mencoba membuat roti sendiri dan membuat inovasi cita rasa saus. Seminggu berkutat di dapur, hasilnya tak mengecewakan. Saya berhasil menciptakan resep roti dan saus burger bercita rasa lidah orang Indonesia. Rasanya jelas berbeda dengan burger yang dijual di berbagai restoran cepat saji.

(nova)

URL : http://gacerindo.com/utama.php?menu=kisahsukses&ida=63

Faisal Basri Ngompreng Juga Waktu Kecil

Wah, nggak nyangka ya, ternyata omprengan sudah ada dari jaman dulu. Dan hebatnya, para pengompreng sudah ada yang jadi tokoh. Salah satunya adalah faisal Basri. Nih ceritanya yang dipetik dari Kompas.

Btw, sama nggak ya omprengan dulu ama sekarang???? Jadi pengen tahu...????


Anak Bakul Sayur Jadi Doktor

Kompas, Minggu, 18 Mei 2008, hal. 17-18.

Faisal Basri (48), pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, masih mengingat bagaimana dia harus berjalan kaki 4 kilometer dan naik mobil omprengan demi mencapai sekolahnya di SMAN 3 di Jalan Setiabudi, Jakarta Selatan, dari rumahnya di perkampungan Kebon Baru, Gudang Peluru, Jakarta Selatan. Itu karena kehidupan orangtuanya begitu sederhana sehingga uang sakunya hanya cukup untuk bayar ongkos omprengan sekitar Rp 15.

Sumber : http://faisalbasri.blogs.friendster.com/faisalbasri/news/index.html

USAHA MOBIL OMPRENGAN

USAHA MOBIL OMPRENGAN
Oleh: Safir Senduk
Dikutip dari Tabloid NOVA No. 963/XVIII

Bapak Safir Yth.,

Saya dan suami adalah Pegawai Negeri Sipil, tinggal di ibukota. Saat ini kami sedang berencana untuk membeli sebuah mobil keluarga yang sekali waktu bisa dijadikan usaha untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
Salah satu jenis usaha yang ada dalam pikiran kami adalah membuat transportasi omprengan. Lumayana, sambil berangkat/pulang kerja bisa sekalian dapat pemasukan. Selain itu mobil juga bisa disewakan terbatas untuk kalangan teman kerja maupun tetangga.
Nah, menurut Pak Safir bagus tidak rencana kami? Kira-kira apa yang harus kami berdua perhatikan sebelum memutuskan hal tersebut ?

Terimakasih.
Rini - Bekasi

Jawab:
Ibu Rini yang baik,Wah, bagus sekali niat Anda, ingin punya kendaraan yang sekaligus bisa menjadi barang produktif karena dijadikan sarana untuk usaha. Satu hal yang harus diingat dengan ide usaha menyewakan mobil seperti ide Anda, adalah kendaraan tersebut akan jalan tiap hari dan dengan kapasitas yang biasanya juga full. Karena itu perawatan tentunya harus menjadi yang utama. Anda harus siap dengan dana perawatan ekstra.

Selain itu, pemilihan kendaraan juga mempengaruhi. Cuma, kalau mau murah sih memang kita bisa membeli kendaraan yang bekas saja. Istilah kerennya, second. Tapi, kalau yang second ini, Anda harus benar-benar hati-hati dan jeli memilih kendaraan. Kalau bisa sebaiknya Anda memiliki pihak lain seperti bengkel langganan sebagai bahan acuan ketika Anda memilih kendaraan. Contoh, kalau Anda mau membeli kendaraan second, coba deh ajak orang bengkel langganan Anda untuk ikut sehingga nantinya dia bisa memeriksa mesinnya misalnya apakah masih bagus atau tidak.

Saran saya yang lain adalah, dan ini lebih penting, bahwa dengan adanya pendapatan baru dari usaha tersebut, maka ini bukan berarti Anda akan bisa dengan leluasa menambah pengeluaran. Maksud saya adalah kalau bisa pendapatan dari hasil usaha tersebut selain untuk membiayai operasional, juga harus punya tujuan yang jelas untuk pos-pos pengeluaran Anda di masa depan, misalnya untuk menambah dana pendidikan anak, menambah aset, untuk bisa beli asuransi dan lain sebagainya. Ini penting, lo, Bu. Kenapa? Karena jarang sekali orang yang menjalankan usaha memiliki target dalam penggunaan dana hasil usahanya. Akibatnya, usaha yang dijalankan tidak memberikan hasil apa-apa selain biaya operasionalnya. Itu banyak terjadi di sekitar kita.

Nah, supaya keuangan dari usaha itu tidak cepat hilang, saran saya pisahkanlah hasil usaha Anda dengan pendapatan rutin bulanan Anda. Sehingga dengan demikian akan mudah mengontrol kemana saja hasil usaha tersebut keluar, dan juga agar pengeluaran pribadi tidak mengganggu keuangan usaha Anda. Begitu juga sebaliknya.

Selain itu, gaya hidup atau pola hidup Anda jangan terlalu berubah dengan adanya perubahan pemasukan ini. Contoh, banyak orang yang tidak sadar bahwa meningkatnya penghasilan dia seringkali meningkatkan pula biaya hidupnya. Dan parahnya lagi peningkatan biaya hidup itu melebihi tambahan penghasilan.
Contohnya, karena Anda punya usaha, tiap bulan penghasilan Anda bertambah Rp 500ribu. Seharusnya peningkatan ini bisa jadi tambahan penghasilan buat keluarga Anda. Tapi apa yang terjadi?
Karena ada tambahan penghasilan, Anda tanpa sadar merubah gaya hidup yang mengakibatkan biaya juga bertambah. Misalnya, dari yang tadinya biasa naik bis, tiba-tiba berpindah naik taxi. Bukannya jelek kalau naik taxi, tapi seringkali berpindahnya Anda ke taxi setiap harinya bisa jadi lebih mahal daripada pendapatan tambahan Rp 500ribu per bulan yang Anda dapatkan. Itu yang membuat banyak orang tidak jadi kaya meskipun punya banyak tambahan penghasilan. Itu saja dari saya Bu. Semoga menjawab, ya.
Salam.Safir SendukPerencana Keuangan
Omprengan, Sang Penyelamat Komuter

Kamis, 15 Mei 2008

“Saya diselamatkan omprengan. Saya tidak perlu berdiri atau berdesakan di bus,” ungkap Astri, karyawan perusahaan pembiayaan di bilangan Sudirman Central Business District yang tinggal Citayam, Bogor.

Omprengan komuter memang punya massa sendiri. Sebarannya pun cukup masif, meski masih terpusat di titik-titik denyut nadi perekonomian Jakarta. Sebut saja seperti di simpangan Halim, Ratu Plaza, dan Komdak.

Tempat lainnya misalnya di Semanggi, area parkir Asia Tower Sudirman, yang terletak persis di bawah jembatan halte busway Bendungan Hilir, atau di sebelah kampus Atma Jaya. Setiap hari kerja, Senin sampai Jumat, sebagian besar mobil yang parkir adalah omprengan pelaju. Mulai pukul 16.30 WIB, mobil-mobil berpelat hitam tersebut mulai bersandar. Beranjak lebih petang, mobil-mobil itu sudah menyusun formasi. Enam saf, enam tujuan di pojok utara parkir. Mulai dari kiri ke kanan, berturut-turut, jurusan Bekasi (Barat dan Timur), Cileungsi, Citayam, dan Cisalak (Depok).

Sebagai sweeper komuter, mobil rata-rata berkapasitas tujuh penumpang. Mulai dari Isuzu Panther, Mitsubishi L300, dan Daihatsu Espass yang rata-rata keluaran tahun 80-an sampai 90-an. Namun tak sedikit juga mobil bertampang keren dan bertahun muda. Seperti milik Robert, 43, yang menggunakan Toyota Avanza keluaran 2002.

Robert yang merupakan karyawan di perusahaan manufaktur di daerah Sudirman merasa “terpanggil” untuk mengomprengkan mobilnya bagi komuter. Ia beralasan, ”Cari bensin tambahan.”

Meski tetap mengandung unsur bisnis, soal ongkos angkut Robert berani bersaing. Untuk jurusan “jajahannya” Cileungsi, yang juga tempat dia tinggal, komuter hanya dipatok tarif 4.000 rupiah per kepala. Tak jarang, lantaran saking sudah akrab dengan penumpang, dia mengikhlaskan tak dibayar. “Tapi kadang juga ada yang bayar lebih,” tukas Robert yang baru aktif ngompreng empat bulan ini sambil terkekeh.

Meski tidak segres milik Robert, Satiyo, 56, pede menarik komuter dengan Toyota keluaran 1982. Bahkan Satiyo khusus meng-custom kabin, seperti bagian jok dan hand holder. “Agar lebih lapang, jadi penumpang nyaman,” ujar pria yang berprofesi montir di kawasan Muara Karang, Jakarta Utara ini.

Sama seperti Robert, Satiyo juga pendatang baru di blantika omprengan pelaju. Alasan melakoninya pun sama. Faktor ekonomi berbalut solidaritas. ”Cari uang tambahan. Toh, juga sama-sama butuh,” ungkap pria yang mengambil jurusan Karet—Cisalak ini.

Bila Robert dan Satiyo berstatus nyambi, lain dengan Teguh, 43. Dia mengaku mengangkut komuter sebagai profesi. Bahkan sudah tahun kelima Teguh melakoni pekerjaan ini. “Malah saya sempat pindah-pindah tempat ngetem,” ujar pria yang juga membuka jasa pemotretan pernikahan di rumahnya di bilangan Sawangan, Depok, ini. Berbekal Daihatsu Zebra tahun 1995 berkapasitas 12 penumpang, mulai pukul 17.00 WIB, Teguh sudah merapat di area parkir. Agar mengoptimalkan pemasukan, Teguh mematok kabin penuh, baru berangkat.

Sebagian Besar Perempuan
Sebagian besar penumpang omprengan komuter ini adalah kaum hawa. Teguh pun membenarkan hal ini. Bahkan dia memberi sebuah konklusi. ”Artinya mereka percaya dan tidak takut,” tegas Teguh.

Berstatus omprengan, bukan berarti sisi keamanan diabaikan. Justru privasi penumpang menjadi layanan utama. Bahkan omprengan, tambah Teguh, ekstra-aman ketimbang transportasi lain. “Di sini gak ada pengamen atau copet. Suasananya seperti pulang kampung bareng,” ujar dia berpromosi.

Namun, Teguh sangat menyayangkan eksistensi omprengan komuter ini tidak diakui. Malah dicap pihak berwajib sebagai transportasi ilegal. Bahkan, tutur Teguh, tak jarang oknum kerap memungut uang.

Berbagi Suka Duka Naik Omprengan

Jumat, 20/07/2007 12:29 WIB
Pelat Hitam vs Pelat Kuning
Berbagi Suka Duka Naik Omprengan
Nograhany Widhi K - detikNews

Jakarta - Terlepas omprengan merupakan kendaraan ilegal, naik omprengan memang banyak suka dukanya. Tapi dibanding dukanya, tampaknya lebih banyak sukanya.Berikut suara hati pelanggan omprengan, Jumat (20/7/2007)

Lina
Saya adalah salah satu pengguna jasa omprengan Cibubur-Jakarta dan sebaliknya. Ada suka dukanya pakai jasa omprengan bagi komuter seperti saya. Sukanya: Waktu tempuh menjadi semakin cepat karena tidak ada istilah ngetem untuk omprengan, sedianya pool omprengan dibuat sangat dekat dengan pintu gerbang tol, sehingga begitu mobil penuh langsung masuk ke jalur bebas hambatan sampai tujuan. Tidak jarang saya menghubungi sopir omprengan atau salah satu pengelola di pool omprengan untuk menanyakan jadwal apakah masih ada mobil yang ngetem atau sudah habis, sehingga saya tidak perlu buang waktu menuju pool tinggal langsung cari alternatif lain. Ongkos hampir sama dengan kendaraan umum lain. Minus tukang ngamen. Kalau lagi beruntung dapat mobil yang luas dan baru, paling tidak full AC dan free smoking. Dukanya: Normalnya bangku tengah paling banyak diisi 3 orang, tapi untuk memaksimalkan penghasilan ngompreng bangku tengah dipaksakan untuk 4 orang. Boleh diisi 3 orang tapi dengan kenaikan ongkos (tambahan Rp 2.000). Begitu pun dengan kursi depan, boleh hanya diisi satu penumpang saja dengan catatan ongkosnya ditambah, atau diisi 2 orang dengan ongkos normal. Bangku belakang apalagi harus 6 orang (3 deret saling barhadapan), kalau ilustrasinya seperti ini berarti jangan menuntut jaminan keselamatan berkendara dengan beban yang melampaui batas. Paling apes mobil omprengan adalah Carry, maksudnya diangkut dengan Carry tidak seleluasa diangkut minibus lain seperti kijang atau panther, (bahkan ada yang pakai Travello), karena dengan mobil yang lebih kecil tidak berarti jumlah penumpang yang diangkut bisa dikurangi. Kalau datang di luar jam operasional jangan harap bisa menemukan omprengan. Boleh saja omprengan dihapuskan, asalkan:Diganti dengan fasilitas transportasi yang tidak hanya memadai namun lebih manusiawi, transjakarta dinilai sangat manusiawi saat ini dibandingkan dengan sarana transportasi lain, murah, mudah dan nyaman. Yang paling penting adalah sopir dan kru angkutan diberikan orientasi disiplin berlalu lintas, beri tindakan keras bagi setiap pelanggaran, sehingga baik penumpang maupun kendaraan lain disekitarnya tidak terganggu dengan ulah sopir yang seenaknya, ugal-ugalan, salip kanan kiri, motong jalan semaunya, dll. Dengan demikian diharapkan angka kecelakaan pun dapat dikurangi.

Jaya Saputra
Saya bukanlah pemakai omprengan atau pemilik omprengan atau pemilik angkot. Saya hanya ingin berbagi pendapat saja.Menurut saya, omprengan yang harus ditertibkan (dihapuskan) adalah omprengan yang jalur operasinya tumpang tindih dengan jalur angkot (sarana transportasi yang resmi) yang sudah ada dan atau yang dengan sengaja menyediakan kendaraan pribadi untuk tujuan komersil (misalnya mengangkut penumpang kantoran). Ini menjadi tugas Dishub dan Polantas. Sedangkan omprengan yang sifatnya mengisi jalur yang belum ada angkotnya (sementara jalur tersebut sudah sangat dibutuhkan oleh masyarakat) menurut saya tidak perlu dihapuskan. Omprengan seperti ini ternyata saling menguntungkan antara orang yang ngompreng (pengompreng) dengan pemilik kendaraan dan sekaligus juga sudah mengurangi volume kendaraan pribadi yang masuk ke kota Jakarta (kebanyakan omprengan berasal dari sekitar Jakarta/komuter). Bayangkan jika semua komuter membawa kendaraan (mobil) sendiri-sendiri ke Jakarta. Di sisi lain pemerintah selalu berusaha dengan menyediakan sarana tranportasi (walaupun belum berhasil dengan baik) dan regulasi yang salah satu tujuanya adalah untuk membatasi jumlah mobil komuter yang masuk ke Jakarta.

Liber Manurung:
Omprengan dihapus? Tambah susah deh! Mobil omprengan tidak boleh langsung dicap sebagai suatu masalah. Kenapa? Kita harus terlebih dahulu memahami kenapa sampai timbul mobil omprengan.Mobil omprengan/yang diomprengkan ada 2 kategori antara lain:1. Mobil omprengan yang hanya sekali jalan dari tempat asal sampai tujuan dan dikemudikan oleh pengawai kantoran/pedagang/bisnismen itu sendiri.2. Mobil omprengan yang memang sengaja ngompreng dan bolak balik berkali-kali.Mobil omprengan pada poin 1 muncul karena kebutuhan (tambahan penghasilan, karena adanya kawasan three in one, waktu tempuh yang jauh lebih cepat dan segi keamanan/kenyamaman).Mobil omprengan pada poin 2 muncul karena banyaknya penduduk yang menjadi pengangguran, minimnya penghasilan padahal ada kesempatan yang halal serta tidak memadainya angkutan yang legal.Namun di satu sisi ada benarnya juga dengan munculnya mobil omprengan jelas mempengaruhi penghasilan para awak angkutan resmi (tapi juga menjadi lahan penghasilan bagi banyak orang, seperti pengangguran, jadi ada kegiatannya kan.Saran saya, biarkanlah kondisi tsb seperti air keruh yang keruh mengalir dan biarkan pula jernih secara bertahap. Habis mau diapain lagi?

Wicaksono
Wahhhh kalau omprengan dihapus maka akan menambah biaya transportasi, makin capek aja dong, berangkat pulang jadi tambah molor dan belum lagi risiko kecopetan.Apa angkot udah bisa nyediain sarana yang kayak omprengan dan tepat waktu dan lagi yang kita tumpangin juga kan mobil-mobil temen atau tetangga sendiri. Itung-itung simbiosis mutualisme gicuuu.

Nanung
Omprengan, oh omprengan. Fenomena omprengan sering kita lihat di Bekasi, Tangerang, Depok dan Bogor. Ini sebetulnya menunjukkan bahwa pemerintah pusat dan daerah masih jauh dari mampu memberikan solusi transportasi massal yang terpadu. Mengacu pada prinsip ekonomi "supply and demand", sudah jelas bahwa "demand" masyarakat untuk transportasi yang nyaman dan aman sudah tak tertahan lagi. Sementara itu, bagaimana dari sisi "supply"-nya? Padahal tiap hari kita lihat pemandangan angkot yang berjejalan memenuhi jalanan di kota-kota tadi, tapi masih pula banyak pengguna yang kecewa (lalu memilih omprengan) dan angkot yang kosong (lantas berdemo)? Betul-betul mismatch yang luar biasa. Belum lagi ongkos ekonomi dan sosial yang harus dibayar.Kesimpulannya, selama pemerintah selalu mengedepankan argumen politis dan "penjatahan kue" dari sektor transportasi ini sementara kepentingan konsumen (yang katanya "raja") seringkali dikesampingkan; selama itu pula tidak akan pernah ada solusi yang optimal. Buat saya yang termasuk komuter Bogor-Jakarta setiap hari, yang paling penting adalah bagaimana bisa sampai di kantor dengan segar dan semangat, dan bisa cepat sampai di rumah dengan selamat dan sehat untuk bercengkarama lagi dengan keluarga. Pemerintah nggak mikirin kita? Ya kita dong yang harus mikirin diri kita sendiri. Kembalikan hak konsumen.

I.K Budiasa
Jangan hapus omprengan! Saya tinggal di Perumahan Bukit Golf, daerah Cibubur, kantor di Jl Jenderal Sudirman, sementara istri bekerja di daerah Tanah Abang. Selama 2 tahun tinggal di Cibubur, angkutan yang selalu kami gunakan adalah omprengan. Cepat, aman dan nyaman. Kami biasa berangkat jam 06:30 dan sampai kantor jam 08:00.Omprengan ada karena ketidakmampuan pemerintah memenuhi tuntutan masyarakat akan moda transportasi yang baik. Saya pernah mencoba menggunakan Busway-- kebanggaan Bang Yos, sekalian mencoba menjadi warga negara yang baik : pemerintah menyediakan angkutan alternatif dan dibanggakan, kenapa mesti tetep menggunakan omprengan yang melanggar peraturan?Pertama saya harus naik angkot 121 sampai Kampung Rambutan, kemudian naik busway. Karena busway Kp Rambutan-Matraman masih digunakan bareng-bareng dengan angkutan umum dan pribadi, jadinya macetnya sama saja dengan naik angkot, plus AC tetapi minus berjejal model ikan sarden. Untuk mencapai Sudirman, harus ganti busway 3 kali, Kp Rambutan-Matraman, Matraman-Dukuh Atas, Dukuh Atas-Karet Kolong. Tahu jam berapa saya sampai kantor? Jam 11:00! Bayangkan, saat itu teman-teman kantor sudah siap-siap mau makan siang. Itu belum jarak jalan kaki di halte busway Matraman dan Landmark-Dukuh atas yang tidak sempat saya ukur karena tidak bawa meteran. Sejak itu, saya mengikuti saran Tukul: kembali ke omprengan. Ini memang melanggar aturan--yang tidak pernah saya baca UU-nya. Tetapi saya tidak korupsi, saya tidak mencuri, dan tidak menyebabkan orang lain berdarah-darah. Mungkin hanya mengurangi potensi pendapatan negara dari pajak angkutan umum yang kacau balau dan tidak manusiawi itu. Jadi sebelum polisi menindak omprengan, pemerintah harus menyediakan dulu angkutan yang layak baik dari sisi waktu dan kenyamanan. Karena masalahnya tidak simpel. Kalau bangun terlalu pagi, pulang terlalu malam --karena waktu habis di jalan---plus stres karena tidak nyaman dan merasa tidak aman, maka sangat mungkin biaya kesehatan masyarakat akan naik, seiring naiknya biaya angkutan yang justru semakin tidak nyaman. Pemerintah punya solusi?

Dyah Ayu Kurniawati
Omprengan jangan dihapus dong. Kebayang kan kalu naik bus sudah penuh, masih suka dipaksa-paksa nambah penumpang, kayak sarden. Kebayang kan panasnya nggak ada udara. Rumah saya Karawaci, kerja di Gatot Subroto. Kalau angkutan umum bisa bikin para penumpang nyaman sih nggak masalah. Saya kalau naik bus umum, belum sampai kantor sudah capek, kalau naik omprengan kan bisa tidur dan relatif lebih aman. Kalau pemerintah bisa memberikan kenyamanan buat para pengguna angkutan umum, kita juga pasti nggak perlu naik omprengan.Jadi jangan salahkan orang yang mengomprengan mobilnya, karena mereka membantu kita pengguna angkutan umum, untuk sampai tempat tujuan dengan aman, nyaman, dan cepat.

Dhani Prasetyo
Saya dukung supaya omprengan jangan dihapuskan. Sebetulnya sistem omprengan kan sejalan dengan kebijakan pemerintah DKI yang memberlakukan 3 in 1. Karena menuruti peraturan tersebut pemilik mobil pribadi mengajak orang orang untuk masuk daerah 3 in 1 bersama-sama.

Herry Gunawan
Saya saat ini memang bukan lagi pengguna omprengan, tapi saya pernah merasakan manfaat omprengan. Jadi saya tahu bagaimana rasanya kalau omprengan dihapuskan. Pernah saya bicara dengan sopir angkot saat berhenti "ngetem" sudah lebih dari 20 menit"Bang, sudah hampir setengah jam neh, kapan berangkat?" Dengan nada marah, sopir angkot menjawab,"Lo mau nggak nambahin setoran gue kalo nggak cukup?" Langsung aja saya keluar, naik ojek.

Kresna
Kalau omprengan dihapuskan ya kasihan juga ya sama karyawan yang sudah terbiasa naik angkutan tak resmi ini, banyak yang bisa dihemat lho selain waktu, tenaga juga uang transportasi, belum lagi kerugian tak terduga seperti kecopetan, pelecehan seksual (bagi wanita di bus biasanya), sampai ke masalah SP (surat peringatan) dari kantor (PHK malah) karena seringnya terlambat bila menggunakan angkot (resmi). Plus bila menggunakan omprengan tentunya jalur macet bisa diakali dengan mencari jalur alternatif yang lain yang jauh lebih lancar.Saya pergi/pulang ke kantor/rumah biasa membawa kendaraan sendiri (Suzuki Carry) dan biasanya sudah mempunya penumpang berlangganan yang dijemput/diantar di/ke pinggir jalan sesuai rute pergi/pulang saya kebanyakan di dapat dari situs nebeng.com) berangkat dari arah Ciputat menuju Sudirman. Penumpang saya merasa nyaman dengan kelebihan di atas walau tarif bervariasi tergantung lokasi jemput/antar Rp 8.000-10.000. Di sisi saya sendiri juga cukup membantu pengeluaran perawatan kendaraan dan pembelian bensin, selain itu juga sangat membantu untuk melewati jalur 3 in 1. Para penumpang pun merasa nyaman dapat beristirahat selama perjalanan, aman, nyaman dan cepat sampai tujuan. Apalagi bila turun hujan tiba-tiba, tidak jarang saya pun mengantar penumpang benar-benar sampai tujuan.Hubungan penumpang dan omprengan tentunya saling menguntungkan. Pangsa pasar omprengan dan angkot tentunya punya pangsa pasar sendiri-sendiri dan relatif tidak saling mengganggu. Penghapusan omprengan boleh saja dilakukan asal sarana transportasi terutama di pinggir kota mengarah ke pusat kota sudah mencukupi, nyaman dan tentunya murah. Karena sebagian besar pekerja bertempat tinggal di pinggiran kota dan memiliki pekerjaan di pusat kota atau bahkan menyeberangi kota (seperti Depok-Tj Priok, Bekasi-Grogol, Ciputat-Kota).

Eko Agus Roma
Sebenarnya saya bukan pengguna langsung omprengan. Tetapi istri saya adalah pelanggan setia jenis angkutan omprengan tersebut. Biasanya dia naik dari Taman Galaxy, dekat rumah kami, ambil jurusan Grogol, karena kantornya di Slipi. Sebelum mengetahui jenis angkutan tersebut, saya biasa antarjemput istri saya pagi dan sore. Bayangkan, dari Galaxy, antar dulu sampai Slipi, kemudian baru berangkat kerja ke Kelapa Gading. Sorenya, dari Kelapa Gading, jemput dulu ke Slipi, baru pulang ke Galaxy. Bisa dihitung kan, berapa biaya bensin dan tenaga yang harus dikeluarkan? Sementara pernah dicoba, istri saya pergi-pulang menggunakan bus atau angkot. Hasilnya? Masuk kantor selalu telat, banyak copet, pernah jatuh karena si sopir tidak menunggu sampai istri saya turun dulu baru menjalankan angkotnya. Walhasil, jangan deh dihilangkan itu omprengan.

Rudy Dajoh
Kemarin saya tidak tahu mengenai keributan sopir angkot, tetapi yang saya heran, adalah kemarin nyetir di jakarta rasanya indah sekali. Nyaman sekali, ngga ada yang main pepet, main potong.Kalau Jakarta terus kayak begini, saya bisa pulang jauh lebih cepat dari biasanya. Biasa jam 8 saya baru bisa jalan karena terkena macet, dan pusat kemacetan biasa angkot dan bis yang ngetem di depan Artha Gading.

Agus Widodo
Pada saat pulang malam saya sering naik omprengan dari Cawang ke Karawang, memang lebih cepat dan lebih nyaman, hal itu saya lakukan karena memang angkutan ke Karawang setelah jam 9 malam sudah tidak ada lagi.Solusi untuk pemerintah ya sediakan aja angkutan yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan (para komuter), jangan asal melarang tanpa memberikan solusi yang tepat. Bagi sopir angkutan harus cari terobosan baru contohnya narik omprengan aja.

Basuki
Saya biasa naik omprengan di depan perumahan Taman Galaxy. Padahal di depan tempat mangkal banyak juga Mikrolet M-26 atau K 58 (Perumnas 1-Bumi Satria Kencana-Cililitan via tol), mereka santai-santai aja nggak pernah bentrok.Omprengan ini ibarat gerakan underground transportasi dan nggak cuman jadi alternatif tapi sangat membantu pekerja komuter seperti saya dan pasti banyak juga anggota masyarakat yang lain.

(nrl/umi)

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/07/tgl/20/time/122940/idnews/807412/idkanal/10

OMPRENGAN JALUR BEKASI - JAKARTA

Tempat Kumpul dari Bekasi
  1. Galaksi (depan LIA)
  2. Pekayon (samping bengkel yang ada mobil di atas)
  3. Jatibening (depan perumahan Jatibening dekat pintu tol)
  4. Pintu tol Bekasi Timur
  5. Bintara (belon tau lokasi pasnya)
  6. Jatiasih (posisinya dari bunderan Komsen ke arah pool taksi Prima Jasa)

Tujuan

  1. Kuningan
  2. Blok M
  3. Sudirman
  4. Thamrin
  5. Grogol
  6. Slipi

Janjian, yuk...!!!

Daripada sendirian, maka kepada rekan-rekan yang bawa mobil silakan cari teman perjalanan. Silakan sebutkan arah (dari-lewat-tujuan), tempat ngumpul dan jam berangkat. Lebih bagus kalau di kirimkan juga foto mobil dan pemilik. Bukan apa-apa, khan pasti lebih seneng kalau mobilnya bagus dan sopirnya ganteng. Apalagi kalau sopirnya cantik, wah...pasti jadi rebutan para cowok...he..he..he..Yang jelas sih, foto mobil dan pemilik untuk lebih menjamin keamanan penumpang.


Rekan-rekan yang cari tebengan, juga silakan cari pemilik mobil satu arah. Jangan malu-malu, ya. Kalau foto yang mau nebeng nggak usah dikirim nggak apa-apa, kok...


Kirim aja melalui komentar. Atau kalau mau ditampilin di blog, maka silakan kirim email.


Silakan kirim dan berkomuikasi melalui komunitas omprengan.


Salam,


Adhiguna


Btw, perlu kasih disclaimer juga ah. Bahwa kalau terjadi hal-hal diluar yang kepatutan, maka pemilik blog tidak bertanggung jawab, ya. Masak misalnya, kalo ada yang selingkuh di jalan, aku mesti ikut tanggung jawab...he..he..he...


SAVE THE WORLD BY OMPRENGAN

Judul di atas bukan basa-basi. Setelah sekian tahun pakai mobil sendiri ke kantor dari Bekasi ke Gatot Subroto, akhirnya dapat menyimpulkan bahwa bawa mobil pribadi ke kantor itu: boros uang, boros tenaga dan pikiran, serta boros waktu. Bayangin aja, naik mobil kijang (tua, tahun 96) butuh minimal 4 liter bensin sehari, plus tol (dalam kota dan Cikampek), plus parkir, plus capek dan stress. Makanya dulu rasanya tiap hari gampang pusing karena capek dan mikirin duit yang kalau dihitung saat ini sekitar Rp. 45.000 per hari..
Beruntung, sejak 2003 beralih ke omprengan. Dari rumah tinggal jalan kaki sekitar 7 menit (sekalian oleh raga, khan?). Setelah itu, naik omprengan, duduk, dan...wussssss...wusssss...wusssss...sampai deh di seberang kantor. Hemat dan mudah karena cuma habis Rp. 20.000 per hari dan tinggal duduk (bisa tidur kalau perlu).
Emang sih ada beberapa kekurangan dibanding naik mobil pribadi. Salah satunya adalah penuh banget. Kalau pas dapet omprengan yang sopirnya emang kerjaannya cuma ngompreng, ya jangan heran kalau satu mobil kijang/panther/carry diisi 10-12 orang, belon termasuk sang sopir. Pokoknya siap penyet....nyet...nyet... apalagi kalo sebelahnya bau dan tidur ngorok...grok...grok....tapi itu kalo apesnya. Tapi itu jarang, seringnya sih pagi-pagi yang duduk disebelah cakep dan wangi, wuihh....bisa bikin awet muda...he..he..he... asal jangan lupa deh ama umur dan keluarga, ya...
Sejak BBM naek, makin banyak yang naek omprengan. Enaknya, mobil yang narik penumpang juga makin banyak dan beragam. Sekarang sudah biasa lihat mobil-mobil baru dipake ngompreng, misalnya Avanza, Xenia, Innova, Panther bahkan tak jarang Elf. Mobil yang begini pasti jadi rebutan. Bayangin aja, bayar Rp. 10.000 bisa naek mobil baru yang full ac. Bisa dipastikan penumpangnya pada tidur nyenyak walaupun ada tabrakan beruntun dan kebakaran di jalan...he...he...enak sih...Pulang kantor juga begitu. Banyak pegawai pulang kerja ke arah Bekasi yang menawarkan mobilnya.
Jika dihitung-hitung, banyak penghematan uang dan bbm dengan adanya omprengan ini. Orang yang beralih dari mobil pribadi ke omprengan dari Bekasi ke Jakarta paling tidak 100 orang per hari. Kalau tiap orang dihitung 4 liter bensin, maka penghematan yang dilakukan adalah 400 liter per hari. Hmmmm, bisa dihitung angka pertahunnya. Rupiahnya???? Sekitar Rp. 600 juta per tahun. Itu baru dari Bekasi. Kalau dihitung yang dari Bogor, Tangerang, dan Depok...wah, bisa jadi sekitar Rp. 2 milyar per tahun.
Polusi juga pasti berkurang. Paling tidak mobil yang berkeliaran di Jakarta juga berkurang sekitar 400 per hari. Bener nggak, ya??? Yah, itu khan hitung-hitungan kasar.
Btw, omprengan makin dibutuhkan oleh para penglaju dari sekitar Jakarta. Kenapa??? Yah, pasti karena sistem transportasi massal di Jabodetabek yang masih belum memenuhi syarat kenyamanan, keamanan, dan ketepatan waktu. Kalau sistem transportasi massal di Jabodetabek sudah bagus, aman, nyaman dan tepat waktu, pasti konsumen juga akan beralih ke transportasi massal yang resmi.
Jadi kesimpulannya: walaupun bukan transportasi resmi, omprengan tetap dibutuhkan karena lebih aman, nyaman, dan tepat waktu. Dan yang pasti, ngompreng turut mengurangi polusi udara Jakarta dan sekitarnya.
Ayo, ngompreng...!!!!!